Manusia sebagai Khalifah

Manusia sebagai Khalifah



"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(QS. Al Baqarah [2] : 30)

Allah swt menciptakan manusia dan menugaskannya menjadi khalifah. Kekhalifahan mengandung tiga unsur pokok yang disyaratkan oleh ayat yang berbicara tentang pengangkatan manusia (Adam) sebagai khalifah, ingatlah ketika Tuhanmu  berfirman kepada malaikat,


"Sesungguhnya Aku akan menciptakan khalifah di bumi."(QS. Al Baqarah : [2]:30)

Unsur-unsur tersebut adalah :
(a) Manusia sebagai khalifah
(b) Bumi tempat tinggal manusia
(c) Tugas kekhalifahan, yang dibebankan kepadanya oleh Allah swt.

Kekhalifahan menurut pemeliharaan, bimbingan, pengayoman dan pengarahan seluruh makhluk agar mencapai tujuan penciptaan. Karena, sebagaimana ditegaskan berkali-kali bahwa,

"Kami (Allah) tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya untuk bermain-main" (QS. Al Anbiya'[21] : 16).


"Kami tidak menciptakan semua langit dan bumi dan apa yang terdapat antara keduanya kecuali (untuk tuhuan) yang haqq (benar)" (QS. Al Hijr [15]:85).

Melalui tugas kekhalifahan, Allah swt memerintahkan manusia membangun alam ini sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Nya,


"Dia (Allah) yang menciptakan kqmu dari tanah dan memerintahkan kamu memakmurkannya" (QS. Hud [11]:61). 

Salah satu hal yang menarik dalam pembicaraan Al Quran dan Sunnah Nabi Saw tentang fenomena alam dan benda-benda yang kita namakan benda tak bernyawa adalah bahwa fenomena dan benda-benda itu dilukiskan sebagai benda yang bernyawa dan memiliki "kesadaran". Perhatikanlah, misalnya, firman-firman berikut :

"Kemudian Dia (Allah) menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya mengikuti perintah-Ku, suka atau terpaksa. "Keduanya menjawab,"Kami datang dengan suka hati."(QS. Fushshilat [41] : 11)

"Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman),"Wahai gunung-gunung, bertasbihlah berulang-ulang bersamanya (Daud) dan (demikian juga Kami perintahkan) burung-burung, dan Kami telah melunakkan besi untuknya (QS. Saba'[34]:(10).
.
"Dan guruh bertasbih dengan memuji Allah (demikian pula) malaikat karena takut kepada Nya...(QS. Al Ra'd[13]:(13).

Dalam hadits, misalnya, ditemukan, antara lain, Rasulullah Saw, bersabda tentang gunung Uhud, "Innahu Yuhibbuna Wa nuhibbuh". (Sesungguhnya ia [Gunung Uhud] mencintai kita dan kita pun mencintainya). Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw, memberi nama-nama bagi benda-benda tak bernyawa yang dimilikinya, misalnya, pedang beliau dinamainya Dzulfiqar, gelas minumnya Al-Shadi, cerminnya Al-Midallah, tikarnya berwarna Al Kuz, dan masih banyak benda-benda tak bernyawa yang lain yang juga beliau beri nama.

Memang ayat-ayat dan hadits-hadits di atas dapat dipahami dalam pengertian metafora (majazi), namun sebelum menetapkan hal tersebut, amat perlu di renungkan maksud firman Allah swt yang artinya :

"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tidak ada satupun kecuali bertasbih memuji Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnuya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."(QS. Al Isra' [17] : 44) 

Walaupun penulis tidak ingin menjadikan teks-teks keagamaan diatas sebagai bukti kebenaran pandangan yang menyatakan bahwa alam memiliki jiwa, dan bahwa dunia timur meyakini hal tersebut, berbeda dengan dunia barat, namun dari ayat-ayat tersebut kiranya kita dapat berkesimpulan bahwa Al Quran dan Sunnah bermaksud mengarahkan manusia untuk bersahabat dengan alam, sehingga dijadikannya benda-benda tak hidup itu, bagaikan hidup, dan karenanya ia pun membutuhkan pemeliharaan, pengayoman, bahkan kasih sayang dan persahabatan. Apalagi kehadiran Nabi Muhammad Saw, tidak lain kecuali membawa rahmat untuk seluruh alam.

"Kami tidak mengutus engkau (Muhammad Saw) kecuali membawa rahmat untuk seluruh alam" (QS. Al Anbiya'[21]:107)

Oleh karena itu pula, demi memelihara persahabatan itu, Al Quran tidak memerintahkan manusia untuk menundukkan alam seperti halnya yang terbaca dalam Perjanjian Lama (Kitab Kejadian) karena alam raya telah ditundukkan Allah swt. Sebagaimana terbaca dalam ayat-ayat yang menggunakan kata sakhkhara dan yang telah dikutip di atas. Bahkan, diajarkannya agar manusia mengakui ketidakmampuannya menakhlukkan alam, atau menguasainya tanpa bantuan Illahi,


"Dan Dia menjadikan untuk kamu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi supaya kamu duduk di atas punggungnya, kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk diatasnya, dan supaya kamu mengucapkan, Maha suci (Allah) yang menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya..."(QS. Al Zukhruf [43]: 12-13). 

 Allah swt, justru mengingatkan bahwa makhluk-makhluk yang melata di bumi, atau terbang di udara adalah "umat-umat" seperti kita (manusia) juga,

"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat juga seperti kamu..."(QS. Al An'am [6]:38). 

Dalam beberapa hadits dikemukakan betapa seorang Muslim dituntut untuk memperhatikan dan mencurahkan kasih sayang kepada binatang. Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibn 'Umar bahwa, "Seorang wanita masuk ke neraka karena mengikat seekor kucing. Dia tidak memberinya makan, dan tidak pula melepaskanya untuk memperoleh makan di bumi (berupa serangga atau burung-burung)." 

Dalam riwayat lain melaui Abu Hurairah ra dinyatakan bahwa, "Suatu kerika ada seorang lelaki yang berjalan dalam keadaan kehausan, lalu dia menemukan sumur, maka dia turun ke sumur itu (dan minum), kemudian ketika dia keluar (naik), tiba-tiba ia menemukan anjing terengah-engah "memakan tanah" karena kehausan, maka dia berkata (dalam hatinya), anjing itu telah merasakan haus sebagaimana yang telah ia rasakan lalu dia turun (kembali) ke sumur itu dan menemukan terompah nya (dengan air), kemudian (digigitnya terompah itu) dengan mulutnya hingga dia naik dan memberi minum anjing tersebut. Allah mensyukuri apa yang dilakukanya dan mengampuninya. Para sahabat bertanya, "Apakah dalam memperlakukan binatang dengan baik, kita memperoleh ganjaran?" Nabi Saw menjawab : "Setiap perlakuan baik terhadap yang mempunyai jiwa ada ganjarannya." (HR. Al Bukhari - Muslim).

Bukan hanya binatang, tumbuh-tumbuhan pun demikian. Terdapat sekian banyak riwayat larangan melarang menebang tumbuh-tumbuhan walaupun dalam situasi perang. Penebangan baru diizinkan kalau ada alasan yang sangat kuat. Dalam konteks ini Allah swt berfirman, yang artinya :


"Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik musuh, orang kafir) atau yang kamu biarkan tumbuh. Maka semua itu adalah atas izin Allah (QS. Al Hasyr [59] : 5) 

Walhasil, segala sesuatu harus dipelihara, dikembangkan, dan dipertanggungjawabkan. Bahkan, setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap jengkal tanah yang terdampar di bumi, setiap tetes hujan yang tercurah dari langit, semuanya harus dipelihara dan dipertanggung jawabkan. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Rasul Saw menyatakan tentang air sejuk yang diminum, atau sebiji kurma yang dimakan, sebagai kenikmatan yang harus dipertanggungjawabkan berdasarkan firman Allah swt,


"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu (Hari Kemudian) tentang kenikmatan
 (QS. Al-Takatsur [102]:8). 

Nabi Muhammad Saw, bersabda, ketika beliau bersama Abu Bakar dan Umar ra. Sedang memakan kurma dan meneguk air sejuk, "Ini adalah termasuk na'im (nikmat) yang akan dimintakan pertanggungjawaban kalian"(HR. Imam Ahmad dan Al-Nasa'i melaui Jabir bin Abdillah).

Dalam pandangan etika kekhalifahan, tidak dibenarkan seseorang memetik kembang sebelum mekar karena ini mengakibatkan makhluk tersebut tidak mencapai tujuan penciptaanya. Dari sini, islam memperkenalkan apa yang dinamai "persaudaraan semakhluk". Sementara pakar lingkungan memperkenalkan lima tahap etika lingkungan : 
  1. Egoisme (keakuan), yakni selama yang bersangkutan menyadari ketergantungan pada orang lain. Kesadaran ini, paling tidak, dapat mendorongnya untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. 
  2. Humanisme (persaudaraan sekemanusiaan) sehingga dapat menghasilkan solidaritas sosial. 
  3. Sentientisme yang berarti kesetiakawanan terhadap makhluk berperasaan dan memiliki sistem saraf sehingga merasakan sakit kalau disakiti. 
  4. Fitalisme, yakni kesetiakawanan terhadap sesama makhluk, baik yang berperasaan maupun tidak, seperti terhadap tumbuhan. 
  5. Altruisme, yang merupakan puncak dari etika. Di situ seseorang merasakan solidaritas kepada semua makhluk, yang bernyawa maupun tidak, sebagaimana diperagakan oleh Nabi Muhammad Saw, di balik kebiasaan beliau memberi nama bagi benda-benda yang tidak bernyawa sekalipun.
(Sumber : M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Illahi , Mizan 1999)




Terima kasih sudah membaca Manusia sebagai Khalifah ,Silahkan bagikan artikel ini Manusia sebagai Khalifah jika bermanfaat, Barakallaahu fikum
Share on :
 
Comments
0 Comments

Post a Comment

loading...
 
Support : About | Site Map | Privacy Policy | Disclaimer | Contact Us |
Copyright © 2013. artikelislamiku.blogspot.com - All Rights Reserved
Di Design Ulang Oleh I Template Blog Published by I Template Blog
Proudly powered by Blogger