Imam An Nawawi ra (wafat 676H) mengatakan dalam kitabnya, "Al-Arba'in" bahwa hadits ini derajatnya hasan. Syaikh Salim Al Adzkar wa dh'ifuhu bahwa hadits ini shahih lighairihi (shahih karena adanya riwayat lainya). Kesimpulanya, hadits ini benar adanya dari Rasulullah saw.
Ibnu Rajab ra (wafat 795H) mengatakan : "Hadits ini merupakan pondasi yang sangat agung di antara pondasi-pondasi adab."Dia mengatakan pula tentang pengertian hadits ini : "Sesungguhnya barang siapa yang baik keislamanya pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting baginya, ucapan dan perbuatannya terbatas dalam hal penting baginya" (Kitab Jami'ul 'Ulum wal Hikam).
Ukuran penting disini bukan menurut rasa atau rasio/akal kita yang tidak lepas dari pengaruh hawa nafsu, akan tetapi berdasarkan tuntunan syariat Islam.
Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting adalah meninggalkan hal-hal yang haram atau hal yang masih samar atau sesuatu yang makruh bahkan berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah (diperbolehkan) sekalipun, apabila tidak dibutuhkan maka termasuk kategori hal-hal yang tidak penting.
Imam Ibnu Rajab ra mengatakan pula : "Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna, sebagaimana disebutkan Allah swt,
"Tidaklah seorang mengucapkan satu ucapan kecuali padanya ada malaikat yang mengawasi dan mencatat." (QS. Qaaf [50] : 18).
Umar bin Abdhul Aziz ra berkata: "Barang siapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya tentu ia akan sedikit berbicara kecuali dalam hal-hal yang penting."
Imam An-Nawawi ra berkata dalam kitabnya, Al Adzkaar : "Ketahuilah, sesungguhnya setiap mukallaf (muslim yang dewasa dan berakal hingga terbebani hukum syari'at) diharuskan menjaga lisannya dari segala ucapan kecuali yang mengandung maslahat. Apabila sama maslahat nya, baik ia berbicara ataupun diam, maka sunah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat mengakibatkan suatu hal yang akhirnya menjurus kepada yang haram atau makruh, dan ini sering terjadi secara umum. Padahal mencari keselamatan itu tidak ada bandingannya. Artinya mencari keselamatan itu sangat penting sekali.
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziah ra (wafat 751H) berkata : "Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Apabila ia berkata hendaklah berkata yang diharapkan terhadap kebaikan padanya dan bermanfaat bagi dien (agama) nya. Apabila ia akan berbicara hendaklah ia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan dikeluarkan terdapat manfaat dan kebaikan atau tidak? Apabila tidak bermanfaat hendaklah ia diam, dan apabila bermanfaat hendaklah ia pikirkan lagi, adakah kata-kata lain yang lebih bermanfaat atau tidak? Supaya ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang pertama (tidak bermanfaat) itu". (Kitab Ad Daa'u wad Dawaa').
Selanjutnya beliau dalam kitabnya itu pula mengatakan, "Adalah sangat mengherankan bahwa manusia mudah dalam hal menghindari dari memakan barang haram, berbuat zalim, berzina, mencuri, minum minuman keras, memandang pandangan yang diharamkan dan lain sebagainya, tetapi sulit untuk menjaga gerakan lisanya. Sampai-sampai seseorang yang dipandang sebagai ahli agama, zuhud, gemar beribadah, tetapi dia berbicara dengan ucapan yang membuat Allah marah kepadanya. Dengan ucapannya tersebut, tanpa ia sangka-sangka menyebabkan ia terjerumus ke neraka jahanam lebih jauh jaraknya dibanding jarak antara timur dan barat.
Betapa banyak orang yang demikian yang engkau lihat dalam hal wara', meninggalkan kekejian dan kezaliman, tetapi lisannya diumbar kesana kemari menodai kehormatan orang-orang yang hidup dan yang telah meninggal dunia, tanpa mempedulikan akibat dari kata-kata yang diucapkannya. Ancaman yang disebutkan itu berlandaskan sabda Nabi saw yang artinya :"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (apakah baik ataukah buruk) di dalamnya maka ia tergelincir disebabkan kata-kata itu ke dalam api neraka sejauh timur dan barat."(Muttafaq'alaih).
Seorang muslim apabila ingin baik keislamannya maka hendaklah ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya. Contoh, apabila engkau bingung terhadap suatu amalan, apakah engkau kerjakan atau tidak, maka lihatlah amalan itu apakah penting untukmu dalam hal dien dan dunia atau tidak penting. Jika penting maka lakukanlah, kalau tidak penting maka tinggalkanlah, karena keselamatan itu harus lebih diutamakan.
Demikian pula janganlah engkau ikut mencampuri urusan orang lain jika kamu tidak memiliki kepentingan denganya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian manusia saat ini, yaitu rasa ingin tahu terhadap urusan orang lain, apabila ada dua orang yang sedang berbincang-bincang lalu ia datangi keduanya dengan rasa ingin tahu apa yang sedang diucapkan oleh mereka berdua. Atau terkadang mengutus orang lain untuk mendengarkannya.
Contoh (kurang baik) yang lain lagi, jika engkau berjumpa dengan orang lain engkau bertanya kepadanya dari mana kamu, apa yang telah dikatakan si fulan kepadamu, dan apa yang kamu katakan kepadanya, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak ada gunanya dan tidak ada faedahnya, bahkan hanya membuang-buang waktu, membuat hati gelisah, dan mengacaukan pikiran serta menyia-nyiakan sebagian besar hal-hal yang penting lagi bermanfaat.
Engkau dapati seorang yang dinamis aktif dalam beramal, memiliki perhatian penuh terhadap kebaikan bagi dirinya dan hal-hal yang bermanfaat baginya, maka engkau dapatkan dia sebagai orang yang produktif.
Kesimpulanya, jika engkau ingin melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan, maka perhatikanlah apakah hal itu penting bagimu atau tidak. Jika tidak penting maka tinggalkanlah, apabila penting maka kerjakanlah sesuai dengan prioritasnya. Demikianlah manusia yang berakal, dia sangat memperhatikan amal kebaikan sebagai persiapan menghadapi kematian. Dan dia selalu mengoreksi diri terhadap amal-amalnya selama ini. (Sumber : An Nur)