Keimanan kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang wajib kita yakini. Rasulullah saw menjawab pertanyaan malaikat Jibril as ketika bertanya kepada beliau tentang definisi iman dengan sabdanya,
"Hendaklah Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari akhir dan beriman kepada takdirnya, yang baik dan buruk" (QS. Al Qomar [54] : 49).
Hal-Hal yang Termasuk dalam Keimanan kepada Takdir
Perlu kita ketahui bersama bahwa keimanan kepada takdir itu meliputi 4 hal. Tidaklah sempurna keimanan kita kepada takdir kecuali dengan terkumpulnya keimanan dalam diri kita terhadap 4 hal berikut ini.
Pertama, mengimani bahwa Allah Ta'ala mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci, yang telah maupun akan terjadi. Baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya sendiri maupun perbuatan para hamba-Nya.
Kedua, mengimani bahwa Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)" (QS. Al Hajj [22] : 70).
Ketiga, mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah Ta'ala. Allah swt berfirman, yang artinya :
"Sekiranya Robb-mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakanya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan." (QS. Al An'am [6] : 112)
Keempat, mengimani bahwa seluruh yang ada merupakan ciptaan Allah Ta'ala, baik zat, sifat maupun gerakanya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia pemelihara segala sesuatu."(QS. Az-Zumar [39] : 62).
Keimanan kepada Takdir Tidaklah Meniadakan Kehendak Makhluk
Keimanan kepada takdir sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidaklah berarti bahwa manusia tidak memiliki kehendak (masyi'ah) dalam perbuatan-perbuatan yang ia lakukan. Tidak pula berati bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya. Hal ini telah dibuktikan kebenaranya, baik dari Al Quran maupun logika (realita) yang ada.
Allah Ta'ala berfirman tentang adanya kehendak manusia yang artinya,
"Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia menempuh jalan kembali kepada Robb-Nya." (QS. An Naba' [78] : 39).
Tentang adanya qudrah (kemampuan) manusia, Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Maka bertawakallah kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengar dan taatlah..."(QS. At Taghobun [64] : 16).
Kenyataan pun menunjukan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dia mempunyai kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuan yang dimiliki, manusia dapat melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya seperti berjalan, maupun sesuatu yang terjadi di luar kehendaknya seperti gemetar. Akan tetapi, kehendak maupun kemampuan manusia itu tergantung dengan kehendak dan kekuasaan Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Robb semesta alam."(QS. At- Takwir [81] : 28-29)
Oleh karena itu, tidaklah benar jika ada yang memiliki keyakinan bahwa manusia itu "dipaksa" oleh Allah dalam perbuatan-perbuatanya, tidak memilki kehendak maupun kemampuan terhadap perbuatnya itu.
Beralasan dengan Takdir untuk Berbuat Maksiat
Di antara konsekuensi keyakinan yang batil di atas adalah seseorang bisa saja beralasan dengan takdir untuk mendukung berbagai bentuk kemaksiatan yang dilakukan. Mereka berdalih, perbuatan maksiat yang dia lakukan adalah memang mereka karena demikianlah takdir, kehendak atau "paksaan" yang Allah tetapkan atas mereka . Kalaulah Allah Ta'ala menghendaki, tentu Allah akan "memaksa" dia untuk menjadi seorang hamba yang sangat tunduk dan patuh kepada Allah.
Alasan mereka ini serupa dengan perkataan orang-orang musyrik ketika berdalih atas perbuatan syirik yang mereka lakukan. Allah Ta'ala berfirman untuk yang artinya,
"Orang-orang musyrik mengatakan, "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak pula mengharamkan sesuatu apapun" (QS. Al An'am [6] : 148).
Sesungguhnya keimanan terhadap takdir tidaklah memberi peluang bagi manusia untuk beralasan ketika meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan. Alasan semacam ini dapat dibantah dengan beberapa hal berikut ini.
Pertama, Allah Ta'ala berfirman yang artinya :
"Mereka diutus sebagai rosul-rosul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutus rosul-rosul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."(QS. An Nisa [4] : 165).
Seandainya takdir itu dapat dijadikan sebagai alasan oleh orang-orang yang berbuat maksiat, setelah diutusnya para Rosul, termasuk di dalamnya yaitu beralasan dengan "takdir".
Kedua, Rasulullah saw bersabda, "Tidak ada seorangpun diantara kamu kecuali telah ditulis tempat duduknya di surga atau neraka". Salah seorang sahabatnya bertanya, "mengapa kita tidak pasrah saja wahai rasulullah?". Tidak ! Beramallah karena masing-masing dimudahkan". Selanjutnya beliau membaca ayat, "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan berbertaqwa..."(HR. Bukhari). Dalam hadist ini, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk beramal dan melarang pasrah (menyerah) begitu saja kepada takdir. Kalau pasarah kepada takdir saja dilarang, bagaimana lagi dengan beralasan dengan takdir untuk mendukung maksiat dilakukan?.
Ketiga, Allah Ta'ala memberikan perintah dan larangan kepada manusia, namun tidak membebaninya kecuali yang dia mampu. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghobun [64] : 16). Allah Ta'ala juga berfirman yang artinya, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya." (QS. Al Baqarah [2] : 286).
Oleh karena itu, ketika Allah Ta'ala membebani seorang hamba untuk meninggalkan suatu kemaksiatan, maka berarti hamba tersebut seharusnya mampu dan sanggup untuk meninggalkannya. Dan apabila dia melakukan maksiat karena kebodohan, lupa atau terpaksa, maka ia tidak berdosa dan dimaafkan.
Keempat, seandainya orang yang beralasan dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya itu dianiaya oleh seseorang dengan dirampas hartanya atau dirusak kehormatannya. Kemudian orang yang menganiaya tersebut beralasan dengan takdir Allah. Orang yang menganiaya berkata, "Jangan salahkan aku! Karena aku menganiayamu karena takdir Allah". Apakah orang yang dianiaya tersebut menerima alasan itu? Tentu tidak. Nah, bagaiman ia tidak bisa menerima alasan takdir Allah ketika ada orang lain yang menganiaya dirinya, padahal ketika ada orang lain yang menganiaya dirinya, padahal ketika dia berbuat maksiat justru beralasan dengan takdir? Tentu hal ini adalah hal yang berlawanan.
Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab ra pernah menerima pencuri yang berhak dipotong tangannya. Umar pun memerintah agar tangan pencuri itu dipotong. Pencuri ini kemudian berkata, "Sabar dulu wahai Amirul Mukminin! Aku mencuri ini hanya karena takdir Allah." Maka Umar pun menjawab, "Ya, kami pun memotong tanganmu hanya karena takdir Allah juga".
Demikianlah beberapa penjelasan yang membatah orang-orang yang berbuat maksiat dengan alasan takdir Allah. Semoga Allah Ta'ala melindungi diri kita dari berbuat maksiat dan tipu daya setan lainnya. Wallohu a'lam. (Sumber : An Nur)