Problematika Ibadah di Bulan Dzulhijjah

Problematika Ibadah di Bulan Dzulhijjah



"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)".(QS. Al Hajj [22] : 34)

Tidak terasa bulan Dzulhijjah segera tiba. Kita harus bersiap untuk menyambutnya, karena dalam bulan ini ada beberapa ibadah yang harus dilakukan oleh umat islam. Biasanya menjelang datangnya bulan Dzulhijjah buletin ini menyajikan tuntunan ibadah di bulan Dzulhijjah, namun untuk kali ini tuntutan itu tidak akan disajikan. Yang akan disajikan adalah beberapa pembahasan permasalahan yang sering muncul dan menjadi pertanyaan umat di sekitar ibadah di bulan Dzulhijjah. Pembaca setia buletin ini bisa melihat-lihat kembali edisi terdahulu bila masih memerlukan tuntunan ibadah di bulan Dzulhijjah, karena pada prinsipnya dalam tuntunan tersebut. "Tidak ada hal yang baru". 

Pembahasan permasalahan di sekitar ibadah di bulan Dzulhijjah ini diambilkan dari buku Tanya Jawab Agama jilid 1-4 yang disusun oleh Tim Majelis Tarjih dan PPI PWM D.I. Yogyakarta, sehingga keakuratan dalam pembahasannya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan ibadah di bulan Dzulhijjah. 

1. Puasa Arafah 

Puasa Arafah dilaksanakan tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah (jika tidak sedang melakukan ibadah haji), yang waktunya bersamaan dengan para jamaah haji sedang wukuf di padang Arafah. Keutamaan berpuasa Arafah ini disebutkan dalam hadits nabi Muhammad Saw. "Puasa pada hari Arafah itu dapat menghapus dosa selama dua tahun, yakni satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Adapun puasa Asyura (10 Muharram) dapat menghapuskan dosa selama setahun yang telah berlalu".(HR. Muslim) 

2. Susunan shaf jamaah wanita 

Hadits tentang pengaturan shaf pria dan wanita, dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : "Sebaik-baik shaf pria adalah yang pertama (terdepan), dan seburuk-buruknya adalah yang belakang. Dan sebaik-baiknya shaf bagi wanita adalah yang belakang, dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan."(HR. Jamaah, kecuali Bukhari). 

Dari berbagai keterangan para pensyarah hadits, kita dapati bahwa pelaksanaan sholat jamaah khusus wanita, maka shaf yang paling baik adalah yang psling muka. Sedangkan kalau berjamaah bersama dengan jamaah pria, yang akan mendapatkan pahala terbesar adalah yang paling belakang shafnya, karena shaf yang paling belakang ini yang paling tidak langsung bersambung dengan shaf pria (yang dapat mengurangi konsentrasi dalam sholat wanita). Jadi arti keburukan shaf tadi bukan menyebabkan tidak sahnya sholat, tapi hanya mengurangi pahala. Itupun kalau memang sholatnya menjadi kurang khusyuk, karena terpengaruh dekatnya dengan barisan shaf pria. 

Dalam pelaksanaan, karena tidak ada keterangan yang tegas dalam penyusunan shaf wanita, dimulai dari muka atau dari belakang maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 

a). Dalam jamaah khusus wanita, barisan yang utama adalah shaf yang pertama. Itulah yang harus diisi, baru setelah penuh, dibuat shaf berikutnya. 

b). Shaf dalam berjamaah antara pria dan wanita, supaya ditentukan jarak yang tegas antara shaf pria yang paling depan, sehingga shaf terakhir pria tidak mempengaruhi konsentrasi shaf wanita, artinya jaraknya cukup. 

c). Dalam menyusun shaf wanita dapat saja dari muka, dan diutamakan yang paling muka adalah wanita yang usianya sudah tua sehingga tidak mudah terganggu konsentrasinya dengan deretan shaf pria didepannya. Baru shaf dibelakangnya shaf wanita yang lebih muda. 

d). Hal ini ditempuh agar wanita yang datang kemudian (menyusul karena terlambat) dapat menempati barisan di belakang shaf wanita yang lebih dahulu dalam shaf sehingga wanita yang akan datang kemudian itu tidak berada di muka shaf yang telah ad, yang akan mengganggu konsentrasi jamaah yang telah ada. Selain itu juga mengingat adanya larangan orang berlalu/lewat dimuka orang yang sedang sholat. 

Kesimpulannya, prinsip dalam tuntunan sholat berjamaah bersama pria dan wanita, kedudukan shaf wanita di belakang shaf pria. Dapat dimulai dari belakang baru di mukanya dan selanjutnya dimukanya. Kesulitan kalau sudah mulai sholat, wanita yang terlambat datang akan masuk ke shaf muka sehingga mengganggu jamaah. Karena itu lebih baik kalau ditentukan jarak shaf paling belakang dari shaf pria dengan shaf paling belakang pria dengan shaf paling depan wanita, tetapi masih tetap terkoordinasi oleh imam. Penyusunan shaf wanita dapat pula dimulai dari muka ke belakang, sehingga wanita yang tertinggal dapat menyusul di barisan belakang, dan tidak mengganggu orang yang sedang melakukan sholat. Shaf yang terdepan pun tidak terganggu debgan shaf terbelakang dari shaf pria yang posisinya ada didepan shaf wanita. 

3. Nisab berkurban 

Mengenai hukum melakukan qurban jumhur ulama menyatakan sunah muakkadah. Ulama hanafiyah menetapkan hukum qurban ini wajib. Sementara itu ulama syafiiyah menetapkan hukum qurban sebagai sunah kifayah bagi setiap keluarga. 

Terlepas dari hukumnya, berqurban merupakan perbuatan Nabi Saw yang selalu dibiasakan setiap tahunya pada tanggal 10 Dzulhijjah. Sebagai ittiba' kita kepada Nabi tentunya qurban itu termasuk yang baik dilakukan setiap tahunnya, bagi yang memang mempunyai keleluasaan rizki. Keleluasaan rizki itu sulit ditetapkan jumlahnya. Hal ini bisa dimasukan dalam perbuatan baik (al-birru), yang ukuranya diserahkan kepada masing-masing muslim untuk bertanya kepada dirinya sendiri, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dan Ad Darimi bishah bin Ma'bad dengan sanad hasan, "Mintalah fatwa hatimu, perbuatan baik (al-birru) itu apa yang menentramkan hati, dan dosa itu apa yang terbetik dalam diri dan berdetak dalam hatimu, sekalipun orang lain menasehatimu atau minta nasehatmu". (HR. Ahmad dan Ad Darimi). 

Dalam hadits itu diterangkan tentang ukuran kelayakan bagi seseorang untuk masing-masing mawas diri. Kalau dihubungkan dengan ibadah qurban yang dianjurkan bagi orang yang mempunyai keleluasaan rizki, agar masing-masing mawas diri dan menanyakan pada dirinya sendiri, misalnya : Pantaskah saya tidak berqurban?. Padahal untuk keperluan dirinya kadang-kadang lebih dari harga hewan qurban ia keluarkan dengan mudah, tidakkah saya ini termasuk yang mengingkari nikmat Allah swt?. 

4. Daging qurban untuk siapa? 

Daging qurban diperuntukan bagi kepentingan masyarakat, khususnya para fuqara yang sangat menghajadkan protein hewani. Namun demikian, berbeda kedudukan qurban ini dengan zakat. Zakat dikeluarkan semua untuk selain muzakki atau yang mengeluarkan zakat, sedang penyembelihan qurban seluruhnya boleh diberikan kepada orang lain atau sebagian untuk diri si pemilik hewan qurban dan sebagian untuk orang lain, sebagaimana firman Allah swt : 

"Kemudian ketika telah roboh (mati binatang qurban itu) maka makanlah sebagiannya dan berikanlah orang-orang yang rela dengan keadaanya (tidak minta-minta) dam orang yang minta-minta".(QS. Al Hajj [22] : 36) 

Adapun hukum menjual daging kurban, pada umumnya ulama tidak membolehkan, kecuali ulama hanafiyah membolehkan, kemudian hasil penjualan itu dibagikan kepada fakir miskin. Dalam hadits Nabi memang didapati larangan menjual kulit binatang itu, tetapi maksud larangan itu kalau si pemilik binatang qurban itu menginginkan memiliki uang kulit qurban itu yang ternyata juga banyak, yang berarti pengurbanan hewan itu tidak sepenuhnya. Wallahu a'lam. 

(Risalah Jumat)


I




Terima kasih sudah membaca Problematika Ibadah di Bulan Dzulhijjah ,Silahkan bagikan artikel ini Problematika Ibadah di Bulan Dzulhijjah jika bermanfaat, Barakallaahu fikum
Share on :
 
Comments
0 Comments

Post a Comment

loading...
 
Support : About | Site Map | Privacy Policy | Disclaimer | Contact Us |
Copyright © 2013. artikelislamiku.blogspot.com - All Rights Reserved
Di Design Ulang Oleh I Template Blog Published by I Template Blog
Proudly powered by Blogger