Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah dan Hukum

Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah dan Hukum

Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahad bukan hujjah bagi aqidah. Karena, menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan qath'iyus tsubut (pasti ketetapan keberadaannya), maka mereka anggap tidak memberi (apa-apa) terhadap ilmul yaqin/aqidah.

Hadits Ahad adalah hadis yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang hingga tidak mencapai mutawatir. Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamakan hadis gharib. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut hadits 'aziz. Sedang hadits ahad yang diriwayatkan jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits masyhur. Jadi hadits Ahad itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir. (Al-Albani, Muqaddimah fi Musthalahil Hadits, hal 14).

Hadits Ahad, menurut muhadditsin (para ahli hadits) dan jumhur (mayoritas) ulama muslim, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat kesahihan dan diterimanya hadits itu.

Memilah-Milah Tanpa Dasar
Orang-orang yang mengatakan bahwa hadits Ahad tidak jadi landasan ketetapan aqidah, mereka mengatakan pada waktu yang sama, bahwa hukum-hukum syara' ditetapkan dengan hadits Ahad. Dengan ini maka mereka telah membeda-bedakan antara aqidah dan hukum. Lalu dari mana mereka ini bisa membeda-bedakan seperti itu?. Dan dari mana mereka mengadakan pertentangan yang nyata ini?. Sedangkan Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'minah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS. Al-Ahzab : 36). 

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam bukunya, Fathul Bari, kitab akhbarul ahad, bab apa yang datang dalam hal kebolehan khabarul wahid (hadits Ahad) yang benar dalam adzan, shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum 13/231.

Ibnu Qayyim berkata dalam kitab Ar-Rad 'alaa man radda 'alal Quran, yang ringkasnya : Sunnah beserta Al-Quran itu ada tiga segi.

Pertama : Sesuai dari semua seginya, maka ia menjadi dalil yang saling melengkapi.
Kedua : Sunnah itu sebagai penjelasan terhadap apa yang dikehendaki Al Quran.
Ketiga : Sunnah itu menjadi petunjuk atas hukum yang didiamkan oleh Al Quran.

Yang ketiga ini menjadi hukum yang diawali dari Nabi SAW maka wajib ditaati. Seandainya Nabi SAW tidak ditaati kecuali dalam hal yang menyepakati Al Quran, maka tidak ada (perintah) ketaatan khusus kepada Nabi SAW. Sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman : 

"Barangsiapa yang mentaati rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah."(QS. An-Nisa [4] : 80).

Tidak Mengambil Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah Itu Bid'ah

Sesungguhnya membedakan antara aqidah dan hukum dalam mewajibkan pengambilan hadits itu adalah falsafah yang menyusup (dakhiilah) masuk ke dalam Islam. Sedangkan membedakan antara keduanya (aqidah dan hukum) itu adalah bid'ah temporer yang baru, yang tidak dikenal oleh salaful ummah (umat terdahulu) dan tidak pula para imam sebelum kita. Oleh karena itu, Al-'Allamah Ibnul Qayyim ra berkata dalam Kitab Mukhtashar As Shawaa'iq 2/412).

Perbedaan (aqidah dengan hukum) ini adalah batil secara ijma'ul ummah (kesepakatan umat). Karena umat itu senantiasa berhujjah dengan hadits-hadits ini maksudnya Hadist Ahad, dalam hal aqidah sebagaimana berhujjah dengannya dalam hal tuntutan beramal.

Dalil-Dalil Wajibnya Memegangi Hadits Ahad Dalam Aqidah

Dalil Pertama :

Allah ta'ala berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti." (QS. Al Hujuraat : 6)

Ini menunjukkan bahwa kalau seseorang sudah jelas dalilnya, apabila ia membawa kabar apapun maka hujjah itu tegak bersamanya seketika. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim ra berkata : Ini menunjukkan mesti diterimanya Khabar Ahad. Seandainya Khabar Ahad itu tidak berguna dalam hal aqidah, pasti diperintahkan untuk menetapkannya sampai diperoleh kegunaan untuk pengertian aqidah.

Dalil Kedua :

Imam Bukhari ra berkata dalam kitab Shahihnya bab Sesuatu yang datang dalam hal kebolehan Khabar Wahid yang benar di dalam adzan, shalat, puasa, faraidh, dan ahkam (Lihat Fathul Bari Syarah Shahihil Bukhari juz 13 hal 231)

Kemudian Imam Al-Bukhari mengemukakan hadits-hadits yang dijadikan dalil untuk bolehnya beramal dan berkata, karena Hadits Ahad itu adalah hujjah dalam aqidah dan ahkam. Maka aku kemukakan sebagian, diantaranya :

Dari Anas bin Malik ra : Bahwa penduduk Yaman datang kepada Rasulullah SAW, lalu mereka berkata : "Utuslah bersama kami seorang lelaki yang akan mengajarkan pada kami As-Sunnah dan Al Islam." Anas berkata : Lalu Rasulullah memegang tangan Abu Ubaidah lalu bersabda : "Ini adalah orang kepercayaan umat ini." (HR. Muslim no 2419 dan Riwayat Al-Bukhari dengan diringkas).

Hadits ini menjadi dalil bahwa khabar Ahad adalah hujjah dengan sendirinya seandainya tidak tegak hujjah dengan khabar ahad itu maka Nabi SAW tidak akan mengutus Abu Ubaidah sendirian.

Imam Syafi'i ra berkata : (Ar-Risalah hal 412) : Dan Nabi SAW tidak mengutus dengan perintahnya kecuali (menunjukkan bahwa) kehujjahan bagi utusan itu tegak atas penduduk yang didatangi utusan itu dengan diterimanya kabar dari Nabi SAW (walaupun disampaikan oleh satu utusan saja).

Dalil Ketiga :

Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata : Sementara orang-orang di Qubba' sedang shalat subuh tiba-tiba datang pada mereka seorang pendatang, lalu ia berkata : "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah dituruni Al Quran dan diperintahkan untuk menghadap ke Ka'bah, maka mereka (yang sedang shalat itu) menghadapnya (ke Ka'bah), sedangkan tadi wajah-wajah mereka (menghadap) ke Syam, lalu mereka memutar diri ke Ka'bah. (HR. Al-Bukhari 13/231 dalam kitab Fathul Bari, dan riwayat Muslim).

Dalil Keempat :

Dari Said bin jubair ra, ia berkata : Saya berkata kepada Ibnu Abbas ra : Sesungguhnya Nauf Al-Nakali menyangka bahwa Musa teman Khidhr itu bukan Musa Bani Israil. Lalu Ibnu Abbas ra berkata : Telah berdusta musuh Allah, telah mengabarkan kepadaku Ubai bin Ka'ab, ia berkata : Rasulullah SAW berkutbah kepada kami kemudian beliau menyebutkan peristiwa Musa dan Khidhr dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa Musa adalah sahabat Khidhr (dikeluarkan oleh Syaikhani/Al-Bukhari dan Muslim secara panjang, dan As-Syafi'i demikian pula, diringkas).

Dalil Kelima :

Dari Anas bin Malik ra ia berkata : Saya dulu menuangkan minuman dari fadhah yaitu kurma kepada Abu Thalhah Al Anshari, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Ubai bin Ka'ab, lalu seorang pendatang mendatangi mereka, dia berkata : "Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Lalu Abu Thalhah berkata : wahai Anas, berdirilah ke guci ini lalu pecahkanlah." Anas berkata, lalu aku berdiri ke arah lumpang milik kami slalu aku pukulkan bawahnya sehingga ia pecah. (dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya pada kitab Akhbar Ahad 13/231 dalam kitab Fathul Bari)

Kesimpulan :

Bahwa setiap muslim wajib mengimani setiap hadits yang tetap (shahih) dari Rasulullah SAW selama telah mengandung syarat-syarat sah dan diterima bagi ahli ilmu tanpa ada celah dalam sanad ataupun matannya, baik itu dalam hal aqidah ataupun ahkam (Dept. Ilmiah)

(Diringkas dari tulisan Abi Ubaidah Mahir bin Shalih Al Mubarak dalam kitab Ar-Risalah fil Fitan wal Malahim wa Asyrathus Sa'ah yang diapresiasi oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, cetakan I, 1414H/1993).

(Sumber : An Nur)





Terima kasih sudah membaca Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah dan Hukum ,Silahkan bagikan artikel ini Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah dan Hukum jika bermanfaat, Barakallaahu fikum
Share on :
 
Comments
0 Comments

Post a Comment

loading...
 
Support : About | Site Map | Privacy Policy | Disclaimer | Contact Us |
Copyright © 2013. artikelislamiku.blogspot.com - All Rights Reserved
Di Design Ulang Oleh I Template Blog Published by I Template Blog
Proudly powered by Blogger