Anak bagi Keluarga
Anak dalam keluarga adalah buah hati belahan jiwa. Orang tua memeras keringat membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah Mahligai perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga, keturunan dan bangsa setelah agama namun anak adalah karunia Allah.
"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia karuniakan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, atau Dia karuniakan anak-anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki atau dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakinya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki (QS. Asy-Syura [42] : 49-50)
Tidak semua Mahligai perkawinan dianugerahi keturunan generasi penerus, hingga suami-istri tutup usia. Usia perkawinan yang masih relatif mudah yang belum dikaruniai anak belum tentu tak akan mendapatkan keturunan. Allah mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Ismail dan Ishaq pada usia senja yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun. Itu terjadi tatkala usia senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus. (Muhammad Asy Syaukani, Fathul Qadir, 3/140). Allah berfirman melalui lisan Nabi Ibrahim :
"Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa." (QS. Ibrahim [14] : 39)
Tabanniy
Tabanny (adopsi) adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Di zaman Jahiliyah seorang mengangkat seorang anak lelaki sebagai anaknya dengan mendapatkan hak seperti anak kandungnya. Dipanggil dengan memakai nama ayah angkatnya dan mendapatkan warisan. Rasulullah SAW mengangkat Zaid bin Haritsah bin Syarah sebagai anaknya sebelum risalah kenabian. Para sahabat memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin (anak) Muhammad hingga Rasulullah SAW bersabda : "Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka (HR Al-Bukhari)
Islam mengharamkan tabanniy (adopsi) yang diaku sebagai anak kandung, dalam Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat dari mutabanniy (orang yang mengadopsi anak).
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatnya sebagai anak kandungnya (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar." (QS. Al-Ahzab [33] : 4).
Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada dirinya Islam menyuruh untuk menerapkannya kepada bapak kandungnya seandainya diketahui jika tidak panggillah mereka 'akh gif din (saudara seagama) atau maula (seseorang yang telah dijadikan anak angkat) seperti Salim anak angkat Hudzaifah, dipanggil maula abu hudzaifah. Allah berfirman, yang artinya :
"Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya. Tetapi (berdosa) apa yang disangkakan oleh hatimu." (QS. Al-Ahzab [33] : 5)
Tawaruts
Islam juga melarang tawaruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkat. Ketika Allah Me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Allah membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Allah telah menikahkan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy Al 'Asadiyyah bekas istri Zaid bin Haritsah. Dengan tujuan Wallahu a'lam supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya (setelah talak dan habis 'iddahnya). Sebagaimana firman Allah swt yang artinya :
"Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya".(QS Al-Ahzab [33] : 37)
Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah sebuah kedustaan mencampurkan nasab (silsilah keturunan), merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak menghalalkan yang haram yaitu berkhalwat (berkumpulnya mahram dengan yang bukan). Dan mengharamkan yang halal : yaitu menikah Rasulullah SAW mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya. Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang dengan sengaja mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, mata Surga haram buatnya." (HR Al Bukhari dan Muslim)
Ihtidhan
Ihtidhan adalah menjadikan seseorang yang bukan anaknya untuk dididik, diasuh dan diperlakukan dengan baik. Ihtidhan berarti membiarkan anak asuh tetap menggunakan nama aslinya, tidak menasabkannya kepada orang tua asuhnya, tidak diwarisi. Semua kebaikan yang diberikan kepada anak asuh hanya sebatas pada pengertian berbuat baik kepada sesama yang memang dianjurkan oleh syariat Islam. Anak-anak asuh tetap menjadi orang lain. Ia bukan mahram bagi keluarga yang mengasuhnya. Hal itu berarti harus memperlakukan anak asuh sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Islam sewaktu berinteraksi kepada orang lain yang bukan mahram.
Solusi Jitu
Adalah rahmat Allah yang Dia tulis dan syariatkan bagi hamba-hambanya, yang Allah sediakan untuk kaum muslimin yaitu sabda Nabi SAW : "Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan". (HR Al Bukhari dan Muslim)
Keluarga yang mengasuh anak orang lain memungkinkan menjadikannya mahram dengan menyusuinya sendiri. Mengenai jumlah bilangan menyusui yang menjadikan anak orang lain mahram para ulama berbeda pendapat. Imam Malik meriwayatkan dari Ali Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, tidak menentukan jumlah bilangan hanya menyusu saja dengan alasan keumuman ayat 23 dari surat An-Nisa pendapat ini diikuti oleh Said bin Al Musayyib Urwah bin Az-Zubair dan Az-Zuhri. Tidak terhitung mahram kecuali jika disusui kurang dari tiga kali, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rawaha, Abu Ubaid dan Abu Tsaur, diriwayatkan dari Aisyah Ummul Fadhl, Abdullah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar dan Said bin Jubair. Berdasarkan : "Satu hisapan atau dua tidak menjadikan mahram".(HR muslim).
Imam Asy Syafi'i dan para pengikutnya berpendapat, tidak termasuk mahram jika disusui kurang dari lima susuan berlandaskan pada ayat yang di-naskh bacaannya; "Sepuluh kali susuan menjadikan mahram."
Sabda ini lalu di-naskh dengan lima susuan. Dan hadits perintah Rasulullah SAW kepada Sahlah binti Suhayl untuk menyusui Salim sebanyak lima kali. Persusuan yang menjadikan mahram manakala bayi masih berumur kurang dari 2 tahun menurut kesepakatan Jumhurul Ulama.
Lihat Tafsirul Quranil Adzim oleh Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Katsir 1/303. (Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Katsir, Tafsir Quranil Azhim 1/510 dan Abul Walid Muhammad bin Rusyd Al-Qurthubiy Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 2/26-28)
(Sumber : An Nur)