Refleksi Pesta Demokrasi

Refleksi Pesta Demokrasi

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat : "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Tuhan berfirman : "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al Baqarah [2] : 30)

Salah satu tugas penting diutusnya manusia ke dunia adalah bahwa mengemban amanah untuk memakmurkan bumi ('imarat al-ardhi). Sebagai konsekuensi dari hal itu, maka dijadikanlah manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah swt tersebut diatas.

Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa memang tujuan dasar diciptakanya manusia selain tujuan yang lainya adalah untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Semua manusia adalah pemimpin, minimal sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri, yang mana hal tersebut nantinya bakal dipertanyakan pada pengadilan akhirat, sebagaimana sabda Nabi Saw : "Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dipimpinya...". (HR. Bukhari)


Dalam konteks yang lebih luas, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi ketika yang dipimpin adalah sebuah Negara dengan wilayah tetorial yang luas, ditambah kemajemukan masyarakat yang ada didalamnya. Hal ini tentu membutuhkan keakhlian (skill) tersendiri. Masih lekat rasanya di ingatan kita, bagaimana kejayaan kesultanan Turki Usmani yang akhirnya harus mengalami keruntuhan. Banyak faktor memang yang melatarbelakangi. Menurut seorang pakar sejarah islam, salah satu faktornya adalah luasnya wilayah kekuasaan Turki Usmani pada saat itu, yang membentang dari afrika sampai Eropa.

Berkaca pada sejarah adalah salah satu cara untuk menatap masa depan. Karena dengan mengetahui masa lalu, kita dapat memprediksi masa depan. Termasuk juga dalam melihat sosok seorang pemimpin, misalnya dengan membaca pribadi seorang Abu Bakar al-Shiddiq ataupun Khulafaur Rasyidin lainya. Berganti masa, tinta emas sejarah kembali mencatat nama seorang Umar bin Abdhul Aziz, yang pada zamanya sampai tidak ada rakyat yang berhak menerima zakat, karena memang setiap individu sudah tercukupi kebutuhanya, semuanya hidup makmur dan sejahtera. Pemimpin ideal seperti mereka hendaknya terus menjadi patokan dan standar dalam melihat dan memilih pemimpin kita. Jikapun tidak sampai sesempurna mereka, minimal satu dua hal positif dari mereka bisa kita dapatkan pada profil yang akan kita pilih.

Seorang pemimpin harus berada di garda paling depan untuk menanggung segala resiko yang akan timbul pada masa kepemimpinannya, harus rela berkorban demi tugas mulia yang diamanatkan kepadanya. Kesedihan, penderitaan dan pengorbanan adalah hal yang wajar, karena itu memang resiko perjuangan.

Dalam suatu kesempatan, salah seorang tokoh masyumi mengatakan "leiden lijden", bahwa pemimpin adalah menderita. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang sudah menyatakan dirinya siap menjadi pemimpin, maka dia harus siap menderita, atau dengan kata lain, bahwa pemimpin itu identik dengan penderitaan. Maka dibutuhkan orang-orang yang kuat dan benar-benar pilihan untuk menjadi pemimpin, karena tidak semua orang siapdan kuat menanggung konsekwensi dari suatu kepemimpinan. Tak akan lekang dari ingatan kita, bagaimana Muhammad Hatta, seorang wakil presiden pada masanya, tidak mampu membeli sepatu, karena uang yang ada telah habis untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

Seiring berjalanya waktu, maka sampaikanlah kita di masa kini, dimana kita sekarang hidup didalamnya. Praktik politik yang sama sekali tidak dapat dibanggakan, dimana selebaran dan baliho-baliho partai sudah mulai bertebaran di setiap penjuru negeri. Sebuah tanda bahwa pesta akbar demokrasi akan segera digelar, genderang akan segera ditabuh, dan kita akan menjadi saksi hidup masa transisi di negeri tercinta ini.

Sebagai umat Islam, kita harus sadar bahwa kita adalah mayoritas. Hal yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam menentukan sosok seorang pemimpin. Pemimpin muslim harus kita prioritaskan, hal tersebut sebagaimana firman Allah Swt :

"Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin , melainkan orang-orang yang beriman..."(QS. Ali Imran [3] : 28)


Selagi masih ada orang islam yang layak dan dianggap punya kapasitas untuk menjadi pemimpin, maka tidaklah pantas bagi kita untuk mengangkat pemimpin dari penganut agama lain. Karena pemimpin adalah pemegang kebijakan tertinggi, maka keputusan yang dihasilkan pun akan memberikan pengaruh bagi semua elemen yang ada dibawahnya, faktor ideologi agama pun akan turut ambil peran dalam setiap langkah yang diambilnya. Inilah mengapa faktor agama menjadi begitu urgen untuk jadi bahan pertimbangan. 

Namun pertimbangan agama tersebut, tidak lantas menjadi alasan legal suatu golongan dengan slogan keislaman yang kental untuk menyegel tapuk kepemimpinan, karena boleh jadi golongan yang lain juga punya itikad baik untuk memperjuangkan nilai-nilai islam. Menonjolkan slogan agama bukanlah hal yang mutlak salah, tetapi harus juga diimbangi dengan kecakapan yang memadai. Sebagaimana yang tertera dalam Al Quran : 

 "Dia (yusuf) berkata : "jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan".(QS. Yusuf [12] : 55).

Ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa seorang Nabi Yusuf saja ketika beliau mencalonkan dirinya, dia tidak lantas menonjolkan kenabiannya, padahal beliau seorang nabi, akan tetapi yang beliau tonjolkan adalah kecakapan dalam suatu bidang. Disini jelas, bahwa agama sebagai landasan utama, tidaklah cukup kecuali dibarengi dengan kapasitas yang mumpuni dalam bidang tersebut. 

Di era demokrasi seperti saat ini, dimana suara tiap individu mempunyai posisi yang sama, bahwa suara masyarakat awam sama dengan suara para cendekiawan, diakui atau tidak, memang menyisakan polemik. Karena masyarakat awam bamyak yang tidak tahu menahu soal dunia perpolitikan dan sepak terjang para politisi, mereka hanya disuguhkan selembar kertas bergambar untuk kemudian menentukan satu pilihan, tanpa mengetahui siapa sebenarnya yang mereka pilih tersebut. 

Fenomena ini dan banyak lagi hal negatif lainya memang menjadi kekurangan demokrasi. Fakta dan realita ini memperkuat argumen bahwa keikutsertaan kita dalam pesta demokrasi menjadi sangat urgen, karena bisa jadi satu suara kita punya andil besar dalam menentukan masa depan bangsa. 

Namun tidak bisa kita pungkiri, bahwa sebagian kalangan yang menganggap bahwa sistem politik yang ada sekarang merupakan sebuah produk gagal milik barat yang sengaja dipaksakan kepada negara-negara islam. Karena sistemnya yang salah, maka siapapun yang jadi pemimpin tidak akan menghasilkan maslahat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Memang benar jika dikatakan bahwa demokrasi itu tergantung pada muatan yang akan kita isikan ke dalamnya. Ketika kita mengisinya dengan ruh keislaman, maka secara tidak langsung demokrasi akan menjadi sebuah sistem islam. Buktinya, mayoritas ulama tidak melarang pemakaian demokrasi di banyak negara islam. 

Rasa tidak percaya kepada siapapun yang akan menjadi pemimpin juga menjadi faktor yang seharusnya harus dikikis, guna menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Golput memang sebuah reaksi wajar yang timbul akibat sebuah gesekan, akan tetapi ia juga bukan solusi tepat dalam menyelesaikan masalah, karena dengan tidak berpartisipasi dalam pemilihan, maka otomatis kita telah memberikan ruang gerak yang lebih leluasa pada golongan tersebut. Hal ini secara tidak langsung telah melukai perjuangan para pendahulu kita yang telah rela berkorban nyawa guna memperjuangkan Negara Indonesia. Apakah kita rela begitu saja menyerahkan masa depan bangsa kepada tangan-tangan yang hendak menjadikan bangsa ini sebagai tumbal untuk melanggengkan hegemoni mereka?

Sebagai penutup, tentunya kita semua sepakat bahwa setiap dari kita mengharapkan hidup bahagia dan sejahtera di bawah sebuah sistem pemerintahan yang ideal, yang diharapkan mampu mengayomi keberlangsungan keteraturan roda kehidupan. Namun secara tidak sadar, kita lebih banyak menuntut semua perbaikan dari pemimpin kita, padahal ada satu ungkapan bahwa "sesungguhnya keadaan kamu, begitu pulalah kamu akan diberi pemimpin."Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa tatkala masyarakat baik, maka pemimpin yang terpilih juga akan menjadi pemimpin yang baik pula. Perubahan menuju perbaikan memang harus dimulai dari setiap individu masyarakat, kalau keadaan itu sudah terwujud, maka perbaikan dalam skala yang lebih besar tinggal menunggu waktu. Semoga pemimpin kita kedepannya adalah pemimpin yang benar-benar amanah, yang mampu menerjemahkan nilai-nilai islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Semoga Allah swt selalu mengiringi langkah para pemimpin kita menuju jalan yang diridhoiNya, dan semoga Negara kita dapat berproses menuju Negara baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Wallahu Alam, wa shallallahu 'ala sayyidina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. 

(Sumber : Risalah Jumat)






Terima kasih sudah membaca Refleksi Pesta Demokrasi ,Silahkan bagikan artikel ini Refleksi Pesta Demokrasi jika bermanfaat, Barakallaahu fikum
Share on :
 
Comments
0 Comments

Post a Comment

loading...
 
Support : About | Site Map | Privacy Policy | Disclaimer | Contact Us |
Copyright © 2013. artikelislamiku.blogspot.com - All Rights Reserved
Di Design Ulang Oleh I Template Blog Published by I Template Blog
Proudly powered by Blogger